Minggu, 28 Juni 2015

Tahapan Penerapan Standar IFRS di Indonesia

Tahapan Penerapan Standar IFRS di Indonesia
Ada beberapa standar akuntansi keuangan yang ada di Indonesia hingga akhirnya Indonesia menganut IFRS (International Financial Reporting Standard) atau Standar Pelaporan Akuntansi Internasional.
1.        SAP
SAP merupakan standar akuntansi keuangan yang diterapkan di dalam pemerintahan dan diberlakukan dalam bentuk peraturan pemerintah. SAP ini diterapkan untuk memudahkan system pelaporan kegiatan yang terkait dengan angggaran di kalangan pemerintah.
System yang dituangkan di dalam SAP cukup mudah dan tidak terlalu ribet namun menyajikan informasi detail dan dimodifikasi dengan keprluan pemerintah seperti di dalam menyusun laopran proyek pemerintah yang trekait dengan pembangunan. Demikian mengenai akuntansi dan standar akuntansi keuangan yang diterapkan di Indonesia.

2.        PSAK Syariah
Negara Indonesia memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam. Hokum Islam juga menjadi salah satu hokum yang diterapkan di berbagai bidang di Indonesia, tidak terkecuali yang terkait dengan system keuangan. Oleh karena itu, ditetapkan sebuah standar akuntansi keuangan yang berbasis syariah dan disebut dengan istilah SAK Syariah.
SAK syariah ini mengadopsi system standar akuntansi keuangan yang sudah ada dan ditambah dengan standar akuntansi syariah. Adapun penerapan dari SAK Syariah ini tidak hanya berfokus pada lembaga syariah, melainkan banyak diterapkan di lembaga umum lainnya.
SAK Syariah kini menjadi pilihan yang tepat untuk menyusun laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya dan lebih mudah dipahami. Selain itu, bertentangann dengan syariah agama mayoritas yang ada di Indonesia, yaitu Islam.

3.        SAK-ETAP
Standar Akuntansi Keuangan yang ditambah Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik merupaka sebuah standar akuntansi keuangan yang ditujukan untuk dapat dibaca oleh eksternal dari perusahaan. Acuan dasarnya tetap memakai IFRS untuk Small Medium Enterprises. Peluncuran standar akuntansi ETAP ini dilakukan pada 2009 dan mulai diterapkan di Indonesia mulai awal tahun 2011. SAK-ETAP menetapkan adanya pengakuan terhadap asset dan kewajiban apabila disetujui ataupun tidak oleh SAK tersebut.
SAK-ETAP bersifat cukup sederhana sehingga dapat diaplikasikan oleh perusahaan, baik skala kecil maupun menengah. Dengan kemudahan penerapannya, diharapkan perusahaan skala kecil dan menengah dapat menyusun laporan keuangan tanpa harus melibatkan pihak dari luar sekaligus diperiksa system pelaporannya oleh auditor. Dengan demikian perusahaan dapat berbelanja lebih baik.
Meskipun disusun dengan cara simple, SAK-ETAP tetap menyajikan sebuah laporan yang rinci dan memiliki informasi yang cukup detail. Hanya saja cara menyusun lebih dipermudah sehingga tidak menyulitkan bagi pengguna yang belum terlalu andal di dalam system penyusunan laporan keuangan.
Penerapan SAK-ETAP ini dipadukan dengan adopsi IFRS untuk small enterprises lebih mudah dibuat karena sudah disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Negara Indonesia. SAK-ETAP memiliki pola pelaporan yang lebih ringkas dan lebih mudah untuk dibaca jika dibandingkan PSAK sebelumnya.

4.        PSAK-IFRS
PSAK-IFRS mulai disusun sejak tahun 2008 dan dimatangkan hingga tahun 2010. Tahun 2011 sudah dalam bentuk finansial berupa konvergensi guna diterapkan selanjutnya pada 2012. PSAK-IFRS perlu dilakukan di wilayah perusahaan yang bersifat public seperti bank, BUMN, dan beberapa perusahaan besar lain.
Standar Akuntansi Keuangan dengan IFRS hars diberlakukan di Indonesia dalam rangka mengikuti standar baku system keuangan yang telah ditetapkan oleh Statement Membership Obligation (SMO) dan Indonesia menjadi salah satu anggotanya. Selain itu, Indonesia juga telah melakukan kesepakatan di dalam Forum G20 untuk mengikuti standar akuntansi keuangan secara internasional guna meningkatkan kualitas dari system akuntansi di Negara Indonesia itu sendiri.
IFRS sendiri memiliki beberapa manfaat, antara lain sebagai berikut:
·         Dapat menambah adanya kemampuan banding dari sebuah laporan keuangan.
·         Meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK) dan mengurangi biaya SAK
·         Meningkatkan kredibilitas pelaporan keuangan
·         Meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan
·         Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan standar akuntansi keuangan yang dikenal secara internasional.
·         Menambah input informasi yang memiliki kualitas bagus di wilayah pasar modal internasional.
·         Menekan adanya hambatan dalam hal arus modal internasional dengan cara menghambat adanya perbedaan di dalam membuat ketentuan laporan keuangan.
·         Menambah kualitas system laporan keuangan hingga dicapai best practice.

IFRS juga membatu Negara Indonesia untuk memudahkan system pembuatan laporan keuangan sekaligus memudahkan bagi audit maupun pembaca lapora  untuk memahami laporan tersebut.
IFRS sendiri memiliki beberapa sifat, yaitu interpretasi dan aplikasi lebih ditekankan. Oleh karena itu, penerapan menjadi focus utama dari standar ini. Kemudian diperlukan adanya penilaian terhadap isi atau data transaksi yang dituangkan di dalam laporan apakah sudah menunjukan adanya realitas dan ekonomi. IFRS menggunakan fair value untuk membuat sebuah proses penilaian, sehingga pasar aktif dapat menentukan nilai yang lebih tepat, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Pengadopsian IFRS di Indonesia
Di Indonesia saat ini sedang dalam tahapan pengkonvergensian dalam menggunakan standar akuntansi dari PSAK ke tahap IFRS. Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) adalah standard an beserta interprestasinya yang diumumkan oleh Dewan Standar Akuntansi Internasional (IASB). IFRS merupakan suatu standar maupun pedoman laporan keuangan secara internasional dan juga Interprestasi diciptakan oleh Komite Interprestasi Pelaporan Keuangan Internasional.
Pengadopsian di Indonesia telah dilakukan dengan cara memperkenalkan susunan-susunan yang ada pada IFRS agar mulai dikenal dalm lingkungan Indonesia. Dalam melakukan konvergensi IFRS, terdapat dua macam strategi adopsi, yaitu big bang strategy dan gradual strategy. Big bang strategy mengadopsi penuh IFRS sekaligus, tanpa melalui tahapan-tahapan tertentu. Strategi ini digunakan oleh Negara-negara maju. Sedangkan gradual strategy, adopsi IFRS dilakukan secara bertahap. Strategi ini digunakan oleh Negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Terdapat tiga tahapan dalam melakukan konvergensi IFRS di Indonesia, yaitu:
1.      Tahap Adopsi (2008-2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAk yang berlaku.
2.      Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis IFRS.
3.      Tahap Implementasi (2012), berhubungan dengan aktivitas penerapan PSAK-IFRS secara bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap dampak penerapan PSAK secara komprehensif.


REFERENSI:


Sejarah Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia

Sejarah Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia



Selama penjajahan Belanda, Indonesia tidak memiliki standar Akuntansi jadi saat itu hanya menggunakan standar Sound Business Pratice (menggunakan standar belanda). Pada tahun 1955, Indonesia pun belum mempunyai undang-undang resmi untuk peraturan tentang standar keuangan. Pada tahun 1974, Indonesia mulai mengikuti standar Akuntansi Amerika yang dibuat oleh IAI yang disebut dengan prinsip Akuntansi.

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) adalah organisasi profesi akuntan yang juga merupakan badan yang menyusun standar akuntansi di Indonesia. Organisasi profesi ini terus berusaha menanggapi perkembangan akuntansi keuangan yang terjadi baik tingkat nasional, regional maupun global, khususnya yang mempengaruhi dunia usaha dan profesi akuntansi sendiri. Perkembangan akuntansi keuangan sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini perkembangan standar akuntansi ini dilakukan secara terus menerus.

Awal sejarah adanya standar akuntansi keuangan di Indonesia adalah ketika menjelang diadakannya pasar modal aktif di Indonesia tahun 1973. Pada tahun 1973 terbentuk Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur GAAP dan GAAS. Pada tahun tersebut juga dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (Komite PAI) yang bertugas menyusun standar keuangan. Ini merupakan masa awal IAI menerapkan system standar akuntansi di Indonesia yang dituangkan di dalam buku berjudul “Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).” Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang selalu diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK), kemudian pada kongres VIII, tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan untuk masa bakti 1998-2000 dan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK.

Pada 1984, komite PAI membuat sebuah revisi standar akuntansi dengan cara lebih mendasar jika dibandingkan PAI 1973 dan mengkodifikasikan ke dalam sebuah buku berjudul “Prinsip Akuntansi Indonesia 1984”. Prinsip tersebut memiliki tujuan untuk membuat suatu kesesuaian terhadap ketentuan akuntansi yang dapat diterapkan di dalam dunia bisnis.

Pada 1994, IAI telah melakukan berbagai langkah harmonisasi menggunakan standar akuntansi internasional di dalam proses pengembangan standar akuntansi dan melakukan revisi total pada PAI 1984 dan sejak itu mengeluarkan serial standar keuangan yang diberi nama Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterbitken sejak 1 Oktober 1994. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) ditetapkan sebagai standar akuntansi yang baku di Indoneisa. Perkembangan standar akuntansi ketiga ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dunia usaha dan profesi akuntansi dalam rangka mengikuti dan mengantisipasi perkembangan internasional. Banyak standar yang dikeluarkan itu sesuai atau sama dengan standar akuntansi internasional yang dikeluarkan oleh IASC.

Sekarang ini ada dua PSAK yang dikeluarkan oleh 2 Dewan Standar Akuntansi Keuangan, yaitu:
1.            PSAK Konvensional
2.            PSAK Syariah
Digunakan oleh entitas yang melakukan transaksi syariah baik entitas lembaga syariah maupun non lembaga syariah. Pengembangan dengan model PSAK umum namun berbasis syariah dengan acuan fatwa MUI.
PSAK ini tentu akan terus bertambah dan revisi sesuai kebutuhan perkembangan bisnis dan profesi akuntan.

Setelah terjadi sebuah perubahan harmonisasi menjadi adaptasi, selanjutnya dilakukan adopsi guna terjadi konvergensi terhadap Internasional Financil Standards (IFRS). Adopsi dilakukan secara penuh dengan tujuan tercapainya konvergensi terhadap IFRS sehingga standar akuntansi keuangan dapat terlaksanakan lebih baik di masa selanjutnya.

Di dalam proses berkembangnya standar akuntansi keuangan, terjadi beberapa revisi yang dilakukan secara kontinyu, yaitu baik penyusunan ataupun penambahan dari standar itu sendiri.sejak tahun 1994, telah dilakukan sekitar enam kali revisi hingga tahun 2007. Di dalam revisi tersebut, ditambahkan sejumlah standar, yaitu KDPPLK Syariah, 5 PSAK revisi, dan 6 PSAK baru. Saat ini terdapat 2 KDPPLK, 7 ISAK dan 62 PSAK.

Sejak tahun 1994 hingga 2004, ada perubahan Kiblat dari US GAAP ke IFRS, hal ini ditunjukkan Sejak tahun 1994, telah menjadi kebijakan dari Komite Standar Akuntansi Keuangan untuk menggunakan International Accounting Standards sebagai dasar untuk membangun standar akuntansi keuangan Indonesia. Dan pada tahun 1995, IAI melakukan revisi besar untuk menerapkan standar-standar akuntansi baru, yang kebanyakan konsisten dengan IAS. Beberapa standar diadopsi dari US GAAP dan lainnya dibuat sendiri.

Merupakan konvergensi IFRS Tahap 1, Sejak tahun 1995 sampai tahun 2010, buku Standar Akuntansi Keuangan (SAK) terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru. Proses revisi dilakukan sebanyak enam kali yakni pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, 1 Juni 2006, 1 September 2007, dan versi 1 Juli 2009. Pada tahun 2006 dalam kongres IAI X di Jakarta ditetapkan bahwa konvergensi penuh IFRS akan diselesaikan pada tahun 2008. Target ketika itu adalah taat penuh dengan semua standar IFRS pada tahun 2008. Namun dalam perjalanannya ternyata tidak mudah. Sampai akhir tahun 2008 jumlah IFRS yang diadopsi baru mencapai 10 standar IFRS dari total 33 standar (terjadi pada periode 2006-2008).


REFERENSI :



Senin, 04 Mei 2015

Branchless Banking

Branchless Banking
Relatif masih banyaknya masyarakat Indonesia yang belum bisa mengakses pelayanan jasa keuangan, menjadi perhatian Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah. Merupakan upaya untuk mendorong sistim keuangan agar dapat diakses seluruh lapisan masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas sekaligus mengatasi kemiskinan. Keuangan Inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung oleh berbagai infrastruktur yang ada. Dari sisi ekonomi makro, program ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang makin inklusif dan berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Salah satu program yang ditempuh oleh Bank Indonesia pada pilar pengembangan saluran distribusi adalah Branchless Banking. Branchless Banking merupakan kegiatan pemberian jasa layanan sistem pembayaran dan keuangan terbatas yang dilakukan tidak melalui kantor fisik bank, namun dengan menggunakan sarana teknologi dan/atau jasa pihak ketiga terutama untuk melayani masyarakat yang belum terlayani jasa keuangan/unbanked. Layanan keuangan yang diberikan melalui branchless banking ini merupakan layanan sistem pembayaran dan perbankan terbatas yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan ekonomi masyarakat unbanked dan underbanked, seperti pengiriman uang, menyimpan kelebihan pendapatan, dan memperoleh tambahan dana untuk pembiayaan usaha produktif.

Hasil Riset BI tahun 2011, disebutkan bahwasekitar 120 juta atau 50,6% dari 237 juta penduduk Indonesia belum tersentuh jasa perbankan (unbankable). Lebih rinci, diketahui 62% rumah tangga nasional yang mencakup 32 juta jiwa belum tersentuh layanan perbankan.Secara umum karakteristik masyarakat yang menjadi target dalam kerangka branchless banking yakni memiliki pendapatan relative kecil, pemahaman terhadap sistem keuangan yang kurang, dan tidak/kurang memiliki pengalaman dalam menggunakan jasa/produk perbankan.

Riset Bank Dunia tahun 2011 juga berhasil menjawab masalah mengapa masyarakat berpenghasilan rendah belum membutuhkan layanan perbankan atau lembaga keuangan, yakni :
1.      Merasa belum memiliki uang yang cukup
2.      Belum memiliki pekerjaan tetap / pengangguran
3.      Tidak memeroleh manfaat bila berhubungan dengan bank atau lembaga keuangan lainnya
4.      Merasa tidak layak meminjam
5.      Tidak membutuhkan kredit
6.      Tidak memiliki jaminan untuk memeroleh pinjaman
7.      Tidak memiliki kemampuan untuk membayar cicilan utang
8.      Tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk pinjaman di bank
9.      Tidak akan memeroleh manfaat dari kredit bank

Branchless Banking Tujuannya adalah untuk mengurangi biaya layanan perbankan.Perluasan jaringan perbankan, memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk menjangkau lokasi yang terpencil di tanah air. BB menjadi salah satu pendekatan yang potensial yang bersifat non-konvensional, hal ini disebabkan perbankan kita saat ini masih bersifat konvensional. Masalah permodalan dalam sistem bank konvensional merupakan hambatan utama dalam meningkatkan layanan jasa keuangan. Pendekatan nonkonvensional seperti perkembangan e-banking, SMS banking atau mobile banking sudah diterapkan pada bank-bank besar namun terkendala pada saat pembukaan rekening. BB merupakan terobosan yang bersifat non-konvensional dimana di beberapa negara seperti Kenya-Afrika dan Meksiko sudah berhasil menerapkannya. Terobosan yang harus dilakukan oleh perbankan melalui pemanfaatan teknologi, khususnya telekomunikasi. Perkembangan industri telekomunikasi yang baru berkembang 20 tahun terakhir di Indonesia ternyata sudah memiliki penetrasi mencapai 250 juta pelanggan, apabila dibandingkan dengan jumlah rekening tabungan yang hanya 70 juta (tahun 2011).

Sebagai tahap awal, Bank Indonesia telah menetapkan 8 wilayah sebagai pilot project yakni Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Pemilihan daerah tersebut didasarkan oleh tingkat kejenuhan perbankan yang diukur dengan variable data PDRB, jumlah penduduk, jumlah DPK, dan tingkat potensi UMK. Saat ini terdapat beberapa bank yang siap untuk terlibat dalam pilot project tersebut yakni Bank Mandiri, BRI, BTPN, Bank Sinar Harapan Bali, dan Bank CIMB Niaga. Dalam cakupan yang lebih luas selain sebagai sarana untuk melakukan transaksi, branchless bankingakan dikaitkan dengan penyediaan informasi para pelaku usaha di daerah yang belum tersentuh layanan perbankan, untuk memperoleh informasi lain yang terkait dengan kegiatan usahanya.

Di dunia internasional, khususnya di emerging market, praktek branchless banking bukanlah hal baru. Dari berbagai studi literatur tercatat lebih dari 100 negara, seperti Malaysia, India, Filipina, Kenya, Pakistan, dan Mexico, yang mengimplementasikan branchless banking.

Sementara itu, dalam konteks Indonesia, branchless banking merupakan hal baru bagi industri perbankan di Indonesia. Oleh karena itu, implementasi branchless banking perlu dilakukan secara hati-hati mengingat implementasi perluasan layanan perbankan melalui UPLK dan teknologi dapat meningkatkan risiko, khususnya risiko operasional, risiko hukum dan risiko reputasi bagi bank dan perusahaan telekomunikasi. Melalui uji coba/pilot project branchless banking diharapkan dapat diperoleh model bisnis yang sesuai dan hambatan serta risiko yang dihadapi oleh para pihak yang terlibat. Adapun keseluruhan implementasinya dilakukan secara bertahap mulai dari penerbitan pedoman, uji coba, evaluasi menyeluruh, dan implementasi secara penuh melalui penerbitan ketentuan branchless banking.

Mengapa pemerintah perlu mengadakan program Branchless Banking, karena:
1.    Seperti halnya dinegara negara berkembang Indonesia termasuk didalamnya, akses layanan perbankan masyarakat bawah masih kurang bahkan beberapa negara dapat dikatakan kurang sekali. Indonesia sendiri berdasarkan survey Bank Dunia tahun 2010 berkisar 49% dari populasi belum terlayani. Negara-negara lain seperti Pakistan 85%, Filipina 75%, China 60% dan India 55%. Thailand dan Malaysia justru lebih rendah dari Indonesia.
2.    Pembukaan kantor bank yang memerlukan investasi dan biaya operasional yang mahal. Sebagai gambaran rata-rata biaya investasi yang dibutuhkan bisa sekitar 1,5 milyar dengan biaya operasional tahunan sekitar 900 juta per kantor
3.    Konsentrasi lokasi perbankan banyak didaerah perkotaan atau urban yang padat. Hal ini dikarenakan potensi bisnis yang secara kasat mata sudah jelas terlihat menguntungkan bagi bank. Kalaupun ada di rural area, dapat dipastikan merupakan area yang padat aktifitas ekonomi, berkembang sehingga secara ekonomis bank melihat feasibility membuka bank didaerah tersebut menguntungkan.
4.    Persepsi masyarakat bawah terhadap layanan bank. Mereka melihat bank sebagai sesuatu yang tidak untuk mereka (bank is not for me). Sejatinya mereka justru dalam keseharian bersentuhan secara tidak langsung dengan layanan keuangan (financial service) yang juga dilakukan bank. Namun karena persepsi, mereka cenderung melakukannya dengan lembaga yang bukan bank antara lain koperasi dan perorangan. Persepsi yang mereka miliki bahwa :
a.       Berhubungan dengan bank harus punya uang banyak dan hanya untuk orang kelas atas berduit
b.      Harus meluangkan waktu khusus ke bank karena jarak yang jauh dari tempat aktifitasnya sehari hari
c.       Prosedur berhubungan dengan bank berbelit belit, banyak aturan dan wajib diikuti
d.      Harus antre untuk  bertransaksi yang hanya untuk kebutuhan sederhana seperti setor atrau tarik dengan jumlah kecil misalnya Rp. 10.000
e.       Biaya transaksi yang mahal, misalnya kirim uang kena biaya Rp. 25.000
f.       Produk atau layanan bank tidak dirancang untuk mereka dengan kondisi keuangan yang tidak tetap
g.      Ada kecenderungan diskriminasi dalam pelayanan terhadap mereka, menganggap mereka tidak punya uang sehingga layanan yang diterima berbeda.
5.      Potensi besar segmen bawah yang belum tergarap. Jujur kita akui bahwa aktifitas ekonomi sebagian besar digerakkan oleh sektor ekonomi kelas bawah seperti usaha-usaha mikro yang masih dilaksanakan melalui mekanisme tunai. Berdasarkan data kurang lebih sebesar Rp. 300 triliun uang tunai ditransaksikan lewat segment ini. Apabila jumlah tersebut masuk ke sistem perbankan dan disalurkan bank kembali dalam bentuk kredit ke meraka, tentunya akan menjadi stimulus penggerak perekonomian yang sangat besar. Efisiensi dalam pengeloaan uang tunai oleh BI pun akan dapat ditingkatkan dengan adanya penggunaan transaksi melalui branchless banking.
6.      Kemajuan teknologi khusus dalam berkomunikasi. Adanya tingkat penetrasi yang tinggi perusahaan telco ke masyarakat bawah melalui penggunaan telepon seluler, menyebabkan timbulnya pemikiran bagaimana memanfatkan kemajuan cara berkomunikasi ini untuk menembus layanan keuangan ke segmen dimaksud dengan memanfatkan keunggulan - keunggulan yang dimiliki perusahaan telco.

Hal-hal tersebut diatas, mengkondisikan perlunya BB dan saat ini sedang berkembang di negara-negara Asia Pasific, Africa dan Amerika Latin. Asia merupakan emerging market termasuk Indonesia yang baru mulai memasuki era ini, meskipun aturan terkait penerapannya masih dalam persiapan oleh BI.

Industri perbankan nasional perlu terus didorong untuk memperkuat ketahanan, efisiensi, dan peranannya dalam intermediasi termasuk didalamnya adalah perluasan akses masyarakat dengan biaya yang lebih terjangkau melalui program keuangan inklusif. Program ini harus dilakukan melalui dua sisi yakni:
·         Penawaran (perluasan akses layanan perbankan dengan biaya terjangkau) dan
·         Permintaan (penyediaan produk perbankan yang sesuai dg kebutuhan masyarakatberpenghasilan rendah).
Implementasi kebijakan financial inclusion:
1.      Pengoptimalan Penggunaan dengan di dukung regulasi Mobile Money
2.      Guideline & Pilot Project, Regulasi Branchless Banking
3.      Enhancement Tabunganku
4.      Fasilitasi sertifikasi tanah
5.      Mengembangkan Financial Identification Number (FIN)
6.      Pengembangan Skim “Start-up” kredit serta produknya
7.      Melakukan edukasi dan sosialisasi
8.      Melakukan Consumer Protection



REFRENSI:
Irma Yusharto. Branchless Banking sebagai Terobosan Inklusi Finansial (Tulisan untuk memperkaya perbankan di Indonesia)diakses melalui http://s3.amazonaws.com/academia.edu.

Senin, 06 April 2015

Perkembangan Akuntansi di Indonesia

Menurut para ahli ekonomi, akuntansi sudah ada sejak manusia mengenal uang sebagai alat pembayaran yang sah. Pencatatan keluar masuknya uang, timbulnya hutang-piutang serta transaksi-transaksi lainnya dilakukan orang, mula-mula di atas lempengan tanah liat, yang kemudian berkembang dengan menggunakan lontar. Naskah yang menggunakan lontar tersebut berasal dari negara Arab (Mesir), pada waktu itu Mesir merupakan Koloni (Jajahan) Romawi. Naskah tersebut hingga sekarang masih tersimpan dengan baik, berasal dari Babilonia pada tahun 3600 SM. Perkembangan ini menyebabkan orang waktu itu memerlukan suatu sistem pencatatan yang lebih baik, sehingga dengan demikian akuntansi juga mulai berkembang.

Setelah itu perkembangan akuntansi juga ditandai dengan adanya seorang yang bernama Lucas Pacioli pada tahun 1494, ahli matematika mengarang sebuah buku yang berjudul Summa de Aritmatica, Geometrica, Proportioni et Propotionalita, di mana dalam suatu bab berjudul Tractatus de Computies et Scriptoris yang memperkenalkan dan mengajarkan sistem pembukuan berpasangan yang disebut juga dengan system kontinental.

Sistem berpasangan adalah sistem pencatatan semua transaksi ke dalam dua bagian, yaitu debet dan kredit. Kemudian kedua bagian ini diatur sedemikian rupa sehingga selalu seimbang. Cara seperti ini menghasilkan pembukuan yang sistematis dan laporan keuangan yang terpadu, karena dapat menggambarkan tentang laba rugi usaha, kekayaan perusahaan serta hak pemilik.

Sistem yang berkembang tersebut dinamakan sesuai dengan nama yang mengembangkannya atau nama negaranya masing-masing. Misalnya sistem Belanda (Sistem Continental) dan Amerika serikat (Sistem Anglo Saxon). Sistem-sistem tersebut kemudian berjalan sesuai dengan perkembangannya. Pada abad sekarang ini sistem yang paling banyak digunakan yaitu Sistem Anglo Saxon, hal ini disebabkan karena system Anglo Saxon dapat digunakan untuk mencatat berbagai macam transaksi, sedangkan sistem yang lainnya agak sukar untuk digunakan. Hal ini disebabkan karena sistem yang lain sering memisahkan antara pembukuan dengan akuntansi sedangkan dalam system Anglo Saxon, pembukuan merupakan bagian dari akuntansi.

Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda sekitar abad 17 atau sekitar tahun 1642. Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat di temui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Socitey yang berkedudukan di Jakarta. Pada era ini Belanda memperkenalkan sistem pembukuan berpasangan (Double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia.

Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800-an hingga awal tahun 1900-an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907. Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur. Intrernal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907.

Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara, Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915. Akuntan public yang pertama adalah Frese dan Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y. Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak – Belasting Accountant Dienst. Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesia pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD. Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929.

Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari. Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950-an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda.

Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang-orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli. Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah.

Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi, seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institut Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Universitas Padjajaran 1960, Univeritas Sumatra Utara 1960, Universitas Airlangga 1960 dan Universitas Gajah Mada 1964, telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960. Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga mengadopsi sistem akuntansi model Amerika.

Pada pertengahan tahun 1980-an, sekelompok teknokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetetif dan lebih berorentasi pada pasar, dengan dukungan praktik akuntansi lebih baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan lembaga-lembaga internasional. Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980-an dan awal 1990-an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan, satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menunjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak.

Pada awal tahun 1990-an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Sekandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta Go Public pada tahun 1990, tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang terjadi. Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (Pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” mejadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.

Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan (PSAK). Kedua, pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (Work Bank) melaksanakan proyek Pengembangan Akuntansi yang ditunjuk untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal.

Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan sampai awal 1998, kebangkrutan konglomerat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF, melakukan negosiasi atas berbagai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparansi). Berikut ringkasan perkembangan praktik akuntansi di Indonesia dapat dilihat pada tabel.

PERKEMBANGAN POLITIK DAN SOSIAL
PERKEMBANGAN EKONOMI
PERKEMBANGAN AKUNTANSI
ERA KOLONIAL BELANDA (1595-1945) :
·         Belanda menguasai Jawa dan kepulauan lain.
·         Islam menjadi agama mayoritas


Perusahaan Hindia Belanda (VOC) menguasai perdagangan di Indonesia. Keterlibatan dan aktifitas Pribumi di perdagangan dibatasi dengan ketat. Etnis China diberi hak khusus  dibidang perdagangan dan transportasi air.


Belanda mengenalkan akuntansi di Indonesia Regulasi akuntansi yang pertama dikeluarkan tahun 1642 oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Regulasi terebut mengatur administrasi Kas dan Piutang (Abdil Kadir 1982)
ERA SUKARNO (1945-1966) :
Indonesia memperoleh kemerdekaan. Kepemimpinan presiden Soekarni dekat dengan pemerintah Cina (RRC). Tahun 1965 terjadi usaha kudeta oleh komunis yang berhasil digagalkan dan mendorong peran militer.


Dominasi perdagangan oleh Belanda dan China mendorong munculnya ketidak adilan di masyarakat. Akhirnya, Indonesia memilih pendekatan sosialis dalam pembangunan yang ditandai dengan dominasi peran Negara. Tahun 1958, semua perusahaan milik Belanda dinasionalisasi dan warga Negara Belanda keluar dari Indonesia.


Akademi lulusan Amerika mengisi kekosongan posisi akuntan dan sistem akuntansi dan auditing Amerika dikenalkan di Indonesia. Baik akuntansi model Belanda maupun Amerika digunakan secara bersama. Ikatan Akuntansi Indonesia didirikan tahun 1957 untuk memberi pedoman dan untuk mengkoordinasi aktivitas akuntan.
ERA SUHARTO (1966-1998) :
Suharto menjadi Presiden tahun 1966 dengan pendekatan kebijakan ekonomi dan politik yang konservatif


Dibawah kepemimpinan Suharto, pembangunan ekonomi didasarkan pada pendekatan kapitalis. Investor asing didorong dan tahun 1967 dikeluarkan Undang-undang Penanaman Modal Asing yang menghasilkan munculnya perusahaan asing
Tahun 1997-1998 Krisis Keuangan Asia menimpa Indonesia dan banyak perusahaan yang bangkrut.


Terjadi transfer pengetahuan dan keahlian akuntansi secara langsung dari kantor pusat perusahaan asing kepada karyawan Indonesia dan secara tidak langsung mempengaruhi aktivitas bisnis.
Tahun 1973, IAI mengadopsi seperangkat prinsip akuntansi dan standar auditing serta professional code of conduct. Prinsip-prinsip akuntansi didasarkan pada pedoman akuntansi yang dipublikasikan AICPA tahun 1965.
Standar akuntansi internasional diadopsi tahun 1995
ERA SETELAH SUHARTO (SETELAH 1998) :
Suharto dipaksa mengundurkan diri pada tahun 1998


Indonesia berjuang dari kesulitan ekonomi dan stabilitas sosial.


Regulasi diperketat untuk memperbaiki pengungkapa informasi.

DAFTAR PUSTAKA :
Rahmansyah Ritonga. Evolusi Akuntansi di Indonesia. Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Keagamaan Medan. (diakses melalui http://sumut.kemenag.go.id/ )