Pengertian
Hukum Perikatan
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis ”. Perikatan dalam hal ini berarti
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain.
Di
dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, yaitu setiap orang dapat mengadakan
perikatan yang bersumber pada perjanjian, inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang
timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan yang
timbul dari undang-undang
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan
Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Asas-asas
dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
·
Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di
dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian
yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas
konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa
perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk
dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hapusnya Perikatan
Bab
IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik yang timbul
dari persetujuan maupun dari undang-undang yaitu dalam pasal 1381 KUH Perdata.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan
yaitu :
1. Pembayaran
2.Penawaran
pembayaran diikuti dengan penitipan.
3.Pembaharuan
utang (inovatie)
4.Perjumpaan
utang (kompensasi)
5. Percampuran
utang.
6. Pembebasan
utang.
7.Musnahnya
barang yang terutang
8.Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar